Anda tentu tidak ingin kredibilitas brand Anda terpuruk karena AI mengarahkan bisnis Anda ke arah yang tidak diketahui. Maka, penting bagi kita untuk tetap melibatkan pengawasan manusia dalam proses operasional AI dalam memastikan konten yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pemasaran.
Alat AI dapat mengumpulkan dan menganalisis jumlah data yang sangat besar. Namun, penting untuk tetap menghormati privasi pengguna dan mematuhi regulasi perlindungan data. Kesalahan yang justru dilakukan oleh sebagian perusahaan adalah mengabaikan hak privasi pelanggan demi mendapatkan keuntungan dan menghormati hak privasi pelanggan.
Hal tersebut umumnya dilakukan tanpa adanya persetujuan pelanggan, sehingga bisa berpotensi adanya risiko reaksi balik yang signifikan dan potensi kerusakan reputasi. Perusahaan harus memastikan bahwa data yang dikumpulkan dan digunakan oleh alat AI mereka dikumpulkan dengan izin dan digunakan sesuai dengan kebijakan privasi yang jelas.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Carnegie Mellon mengungkapkan sebuah realita yang buruk: perempuan tidak mendapat banyak keuntungan ketika mencari informasi pekerjaan yang ditayangkan di Google. Hal ini menunjukkan bahwa AI yang digunakan dalam mesin pencari terkadang masih menunjukkan diskriminasi.
Sistem AI hanya menunjukkan kualitasnya dalam bentuk data yang digunakan dalam pelatihannya. Untuk mencegah hasil yang diskriminatif, penting untuk memastikan keberagaman data yang digunakan dalam pelatihan AI. Perusahaan harus secara aktif memastikan bahwa data yang digunakan dalam pelatihan AI mereka mencerminkan keragaman populasi yang sebenarnya agar hasilnya tidak memihak atau diskriminatif.
Sebuah kasus dari chatbot AI milik Google, Bard (sekarang Gemini) memberikan informasi menarik tentang Teleskop Luar Angkasa James Webb yang mengambil “gambar pertama dari sebuah planet di luar tata surya kita.” Faktanya, para ahli dengan cepat menunjukkan bahwa foto pertama sebuah planet ekstrasurya terjadi pada tahun 2004, sehingga klaim Bard sepenuhnya salah.
Terkadang, AI dapat menghasilkan informasi yang salah atau menyesatkan, yang dikenal sebagai halusinasi. Untuk mempertahankan akurasi, perlu dilakukan pemeriksaan dan keseimbangan secara teratur. Perusahaan harus melakukan evaluasi berkala terhadap kualitas hasil yang dihasilkan oleh AI mereka untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan adalah benar dan dapat dipercaya.
Pada tahun 2016 lalu Microsoft memiliki chatbot bernama Tay, yang awalnya dipredikasi menjadi gambaran bot yang dapat berinteraksi dengan pelanggan. Tay dibuat dengan model belajar dari obrolan dengan pengguna Twitter. Sayangnya Tay justru cepat berubah menjadi ancaman online yang melontarkan omong kosong dan bernada ofensif yang dipelajari dari pengguna Twitter.
Chatbot dan alat layanan pelanggan lainnya yang didukung oleh AI perlu dikelola dengan hati-hati untuk memastikan memberikan respons yang akurat dan membantu. Perusahaan harus memastikan bahwa chatbot mereka dilatih dengan data yang relevan dan dapat memberikan jawaban yang sesuai dengan pertanyaan pelanggan. Selain itu, perusahaan juga harus memperhatikan bahwa ada situasi di mana interaksi manusia menjadi lebih baik daripada interaksi dengan AI.
AI seharusnya menjadi pelengkap, bukan pengganti, kreativitas manusia. Kampanye pemasaran yang sukses seringkali membutuhkan pemahaman nuansa yang hanya dapat diberikan oleh manusia. Perusahaan harus mengakui bahwa keberhasilan dalam pemasaran digital tidak hanya bergantung pada algoritma dan data, tetapi juga pada kecerdasan dan wawasan manusia.
Dalam menghadapi era digital yang terus berkembang, tentu kita sebagai pengguna, perlu menjaga agar operasional AI dalam digital marketing tetap relevan dan bermanfaat bagi pelanggan. Dengan menghindari kesalahan-kesalahan yang telah disebutkan di atas, strategi pemasaran yang efektif dapat terbangun sehingga menghadirkan pengalaman pelanggan yang lebih baik.